Sejak Era Ikan Tongkol, Sains dan Teknologi Hanya Jadi Pajangan

Dalam perjalanan sejarah peradaban, sains dan teknologi seharusnya menjadi tulang punggung kemajuan masyarakat. Namun, jika menoleh ke belakang, terutama sejak era yang secara sarkastis disebut sebagai “era ikan tongkol” istilah yang sering digunakan sebagai sindiran terhadap masa-masa stagnasi intelektual terlihat bahwa di banyak wilayah, sains dan teknologi justru hanya dijadikan sebagai hiasan, bukan kebutuhan riil. Pengetahuan yang semestinya menjadi alat transformasi sosial dan ekonomi justru dibingkai sebagai simbol semu kemajuan, tanpa upaya nyata untuk mengintegrasikannya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di satu negara, melainkan menjadi gejala umum di banyak negara berkembang yang lebih sibuk membangun pencitraan modern ketimbang memajukan literasi ilmiah. Laboratorium berdiri megah, riset diumumkan di berbagai konferensi, robot ditampilkan dalam pameran, dan satelit diluncurkan ke luar angkasa. Namun di sisi lain, pendidikan dasar masih timpang, fasilitas sekolah di desa tertinggal, dan ketimpangan akses teknologi sangat mencolok. Sains dan teknologi berhenti pada tataran seremoni, menjadi ikon yang dipamerkan untuk kepentingan politik, bukan sebagai solusi konkrit terhadap problematika rakyat.
Dalam masyarakat seperti ini, para ilmuwan dan peneliti kerap terjebak dalam birokrasi proyek. Mereka diminta membuat laporan yang rapi, membuat proposal yang menarik perhatian pejabat, atau melakukan riset sesuai permintaan sponsor, bukan sesuai kebutuhan ilmiah atau masyarakat. Ketika teknologi hanya dilihat dari sisi industrinya, bukan fungsinya, maka muncul kesenjangan antara inovasi dan penerapan. Alat canggih bisa saja dibuat, tapi hanya dipakai untuk menunjukkan bahwa “kita mampu”, bukan karena memang dibutuhkan.
Sejak era ikan tongkol yang bisa ditafsirkan sebagai metafora zaman penuh simbol tanpa substansi—kecenderungan mengagungkan bentuk daripada isi semakin kuat. Alih-alih mendorong eksplorasi pengetahuan yang bebas, lembaga pendidikan dan institusi riset banyak yang lebih memilih mengikuti arus kebijakan politik dan komersialisasi. Di kampus, penelitian sering hanya dijadikan formalitas akademik demi mengejar gelar, bukan untuk menjawab persoalan masyarakat sekitar. Sementara di ruang publik, teknologi disulap menjadi atraksi hiburan, seperti drone untuk pertunjukan atau AI untuk festival, bukan untuk mengatasi kemiskinan, ketimpangan data, atau layanan publik yang tertinggal.
Kritik terhadap kondisi ini semakin menguat seiring dengan kian lebarnya jurang antara “negara yang mengembangkan teknologi” dan “negara yang hanya memakai situs slot depo 10k teknologi untuk pamer”. Dalam konteks global, ketergantungan pada produk teknologi dari luar negeri menjadi bukti bahwa pencapaian sains lokal belum diinternalisasi secara struktural. Masyarakatnya belum diberdayakan untuk menjadi produsen teknologi, hanya menjadi konsumen pasif yang terpukau oleh tampilan, bukan esensi.
Solusi dari masalah ini tidak sesederhana membangun lebih banyak laboratorium atau membeli lebih banyak peralatan. Dibutuhkan perubahan cara pandang yang mendalam. Sains harus dikembalikan pada akarnya: rasa ingin tahu, keberanian mempertanyakan status quo, dan komitmen terhadap perbaikan nyata kehidupan manusia. Teknologi tidak bisa terus dijadikan simbol kemajuan semu yang hanya hadir saat peringatan hari besar nasional atau kampanye politik.
Sudah waktunya sains dan teknologi ditempatkan pada tempat yang tepat — bukan di atas panggung pameran, melainkan di sawah petani, di ruang kelas sekolah pelosok, di pusat layanan kesehatan desa, dan di tangan para inovator muda yang bekerja bukan demi seremoni, melainkan demi solusi. Era ikan tongkol harus berakhir. Era pengetahuan yang hidup dan berpihak pada kehidupan nyata harus dimulai.
BACA JUGA: Tahun Baru, Hp Baru? Berikut 5 Hp yang Akan Hadir di Awal Tahun 2025